Jumat, 04 September 2009

KAJIAN ILMIAH ;SIAPAKAH AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH?

PENGENALAN

Ahlussunnah Wal Jama'ah adalah golongan mayoritas umat Muhammad. Mereka adalah para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dalam dasar-dasar aqidah. Merekalah yang dimaksud oleh hadits Rasullullah yang artinya:

"...maka barang siapa yang menginginkan tempat lapang di surga hendaklah berpegang teguh pada al-Jama'ah, yakni berpegang teguh pada Aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah".
[1]

Aqidah Sunniyyah adalah aqidah yang telah disepakati kebenarannya oleh segenap kaum Muslimin diseluruh penjuru dunia. Aqidah inilah yang telah dibawa oleh Rasulullah dan para sahabatnya. Aqidah ini kemudian dijelaskan kembali berikut dengan dalil-dalil naqli (nash-nash al-Qur'an dan al-Hadits) dan aqli (argumen rasional) serta bantahan terhadap golongan-golongan yang menyempal_oleh dua imam besar; al Imam Abu Hasan al-Asy'ari dan al-Imam Abu Manshur al-Maturidi- semoga Allah meridlai keduanya. Akhirnya pada awal abad IV H, Ahlussunnah Wal Jama’ah dikenal dengan nama baru al-Asya'irah dan al-Maturidiyyah. Mereka adalah mayoritas umat yang tergabung dalam pengikut madzab empat dari sudut fiqihnya.

Sesuatu yang patut disayangkan merebaknya paham-paham yang berseberangan dengan aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah dengan klaim sebagai Ahlussunnah Wal Jama’ah. Diantara paham-paham itu adalah:

I. WAHABIYAH:

Mereka adalah pengikut Muhammad ibnu Abdul Wahab an-Najdi (W. 1206 H). Pokok dari ajaran ini adalah berkeyakinan bahwa Allah adalah benda yang duduk di atas 'Arsy atau kursi (sebagian mereka mengatakan di langit), dan ini adalah menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya, karena duduk adalah salah satu dari sifat manusia, ini jelas-jelas bertentangan dengan firman Allah yang artinya ;

"Dia (Allah) tidak menyerupai sesuatupun dari makhluk-Nya dan tidak ada sesuatupun yang menyerupai-Nya"
[2]

Diantara sifat-sifat manusia adalah seperti bergerak, diam, berubah, bersemayam, naik, turun, berada di tempat dan arah, duduk dan sebagainya.

Para as-Salaf ash-Shalih
[3] bersepakat bahwa orang yang mensifati Allah dengan salah satu dari sifat manusia adalah kufur, sebagaimana yang telah dikatakan Imam ath-Thohawi di dalam kitab aqidahnya. Sayyidina Ali berkata-semoga Allah meridlainya- :

"Sesungguhnya Allah menciptakan 'Arsy (mahkluk Allah yang paling besar) untuk menampakkan kekuasaan-Nya bukan untuk menjadikan tempat bagi Dzat-Nya"
[4]

Imam Syafi'i juga mengatakan: "orang yang meyakini bahwa Allah duduk di atas 'Arsy, maka ia kafir
[5]. Dalam kitab yang lain beliau juga mengatakan "orang yang meyakini Allah adalah benda (al-Mujassim) adalah kafir[6]. Al Mufassir al-Razi berkata: sesungguhnya keyakinan bahwa Allah duduk di atas 'Arsy atau berada di langit, adalah menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya dan keyakinan tersebut adalah kafir".

Golongan ini (wahabiyah) mengkafirkan orang yang berkata " ya Muhammad " atau beristighotsah, mengharamkan ziarah kubur, memusyrikkan orang yang bertawassul_pendiri ajaran ini mengambil keharaman tawassul dari kitab-kitab Ibnu Taimiyah (W. 728 H)_baca kitab (al-Maqalat as-Sunniyyah fi al-Kasyf adl-dlolalat Ahmad ibn Taimiyah, karya Syekh Abdullah al-Harari), mereka juga memusyrikkan orang yang memakai hirz (jimat atau kertas yang berisikan tulisan ayat-ayat al-Qur'an atau dzikir kemudian dibungkus rapat dan dikalungkan dileher), mereka menyamakan orang-orang ini dengan orang yang menyembah berhala, menyatakan semua bid'ah adalah sesat, mereka mengkafirkan semua orang yang bertentangan dengan keyakinan mereka dan lebih sesat lagi menghalalkannya untuk dibunuh dan banyak hal lainnya.

II. HIZBUL IHWAN:

Mereka adalah pengikut Sayid Quthub al-Mishri (W. 1387 H). Aqidah mereka adalah mengkafirkan penduduk suatu negara yang tidak memakai syari'at islam, mereka mengkafirkan semua orang, baik yang duduk dalam pemerintahan negara tersebut maupun rakyat biasa. Mereka juga mengkafirkan Orang Islam yang bermaksiat seperti berzina, minum arak, menghukumi dengan selain syariat baik karena suap, persahabatan atau kekerabatan. Awal mulanya "Hizbul Ihwan'" yang didirikan oleh Syekh Hasan al-Banna_semoga Allah meridlainya_ adalah berkeyakinan yang benar dan tidak mengkafirkan Orang Islam yang menghukumi dengan selain al-Qur'an, namun setelah Sayid Quthub bergabung dan merubah dari metode yang benar (asal), akhirnya Syekh Hasan al-Banna memperingatkan (tahdzir) Sayid Quthub dan pengikut-nya bahwa mereka bukanlah saudara (ihwan) dan juga bukan Orang Islam (muslimin). Para pengikut Sayid Quthub ini bermacam-macam dalam menyatakan nama golongan mereka, sebelum 40 tahun yang lalu, golongan ini mempunyai atau dikenal dengan dua nama; di Mesir dan sekitar-nya dikenal dengan nama "Hizbul Ihwan al-Muslimin" dan di Libanon dikenal dengan nama "Ibadurrahman", kemudian di perbaruhi lagi dengan nama yang ketiga yang lebih umum yaitu; "Jama'ah Islamiyyah", supaya disangka bahwa mereka mengajak kepada hakikat Islam baik dari segi keyakinan (aqidah) maupun perbuatan (amal), tapi kenyataan-nya lain.

III. HIZBUT TAHRIR:

Mereka pengikut Taqiyuddin an-Nabhani (W. 1400 H). Golongan ini berkeyakinan bahwa Orang Islam yang mati tanpa membaiat khalifah, maka matinya adalah mati jahiliyah (menyembah berhala). Menurut mereka semenjak ratusan tahun yang lalu Orang Islam yang mati adalah mati jahiliyah, karena sejak masa itu tidak ada lagi khalifah. Padahal Orang Islam (rakyat) mendirikan khalifah pada zaman sekarang adalah udzur, maka apa dosa mereka?. Allah telah berfirman yang artinya;

"Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai kesanggupan-Nya". (al-Baqarah: 286).

Golongan ini menghalalkan seorang laki-laki berjabat tangan dengan perempuan yang bukan mahramnya. Padahal Rasulullah bersabda yang artinya;

"jika salah seorang diantara kalian ditusuk kepalanya dengan sebuah besi, itu lebih ringan baginya dari pada disiksa karena menyentuh seorang perempuan yang tidak halal baginya (bukan mahram-Nya).(H.R. ath-Thabrani dan dihasankan oleh Ibnu Hajar).

Untuk mengenahi suara perempuan bukanlah aurat, sebagaimana firman Allah yang artinya, "Dan katakanlah (wahai para istri nabi) perkataan yang baik. (Q.S. al-Ahzab: 22). al-Ahnaf ibn Qays berkata " aku telah mendengar hadits dari mulut Abu bakar, Umar, Utsman dan Ali. Dan aku tidak pernah mendengar hadits sebagaimana aku mendengarnya dari mulut 'Aisyah". (H.R. al-Hakim dalam kitab al-Mustadrak).

Termasuk paham-paham yang harus diluruskan adalah paham Liberal, mereka memahami agama dengan pemikiran mereka (argumen rasional), mereka membenarkan adanya "Toleransi beragama" dan ini jelas-jelas bertentengan dengan firman Allah yang artinya;

" Katakanlah " Taatilah Allah dan Rasul-Nya, jika kamu berpaling maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir.
[7]

Sudah sangat jelas bahwa Allah tidak menyukai orang-orang kafir, bagaimana kita bertoleransi dalam beragama atau do’a bersama antar umat beragama?, itu sama saja mengakui kebenaran agama mereka. Bukankah ridlo dengan kekufuran adalah sebuah kekufuran?. Maksud dari ayat di atas adalah Allah tidak suka kepada orang-orang yang berpaling dari iman kepada Allah dan Rasul-Nya, karena kekufuran mereka. Sedangkan yang di maksud "taat" pada ayat ini adalah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Orang yang mengatakan Allah suka kepada orang-orang mukmin dan orang-orang kafir, karena dia (Allah) yang menciptakan semuanya, maka orang tersebut mendustakan al-Qur'an, dan orang yang mendustakan al-Qur'an adalah kafir. Dan (boleh) di katakan Allah menciptakan semuanya, tetapi tidak menyukai seluruhnya (tiap-tiap dari mereka).

Para ulama bersepakat atas kekafiran orang yang tidak beragama islam, orang yang tidak mengkafirkan mereka, ragu-ragu atau bimbang, seperti "saya tidak mengatakan bahwa mereka kafir atau bukan kafir".

Kita tidak diperbolehkan mengkafirkan seseorang tanpa adanya bukti dan dalil-dalil yang menjelaskan kekafiran seseorang, baik dari al-Qur'an, al-Hadits ataupun kesepakatan para ulama (ijma') mengenagi kekufurannya.

Toleransi beragama tidak dibenarkan dalam islam, karena agama yang diridloi Allah hanyalah islam. Allah berfirman yang artinya :

"Sesungguhnya agama (yang diridloi) Allah hanyalah islam.
[8]

Dalam ayat yang lain Allah berfirman yang artinya ;

"Barang siapa yang mencari agama selain agama islam, maka sekali-kali tidaklah diterima (agama itu) dari pada-Nya.
[9]

Dalam permasalahan agama, kita berpedoman kepada syari'at, dan bukan berdasarkan akal pikiran (argumen rasional), andai saja agama dengan argumen rasinal, tentunya mengusap khuf (jenis sepatu) dari bawah bukan dari atas, tapi Rasulullah mengusap bagian atas.
Paham-paham sesat inilah yang mulai merebak di masyarakat kita, bahkan sudah mulai masuk kedalam dunia pesantren, paham-paham yang jelas-jelas menyalahi apa yang telah disepakati oleh Ahlussunnah wal Jama'ah.

Mencari ilmu tidak hanya memperbanyak membaca kitab-kitab, tapi mengambil langsung dari mulut para ulama' yang terpercaya dan ahli dalam bidangnya, yang mana mempunyai sanad yang jelas dan bersambung sampai ke Rasullullah, sehingga tidak terjadi kesalahan dalam memahami suatu masalah, lebih-lebih ilmu Tauhid, yang mana ilmu ini adalah kunci utama bagi keselamatan seseorang di akhirat.

Syekh Abdullah al-Harari mengatakan " Mengajarkan ilmu tauhid itu lebih utama dari pada sholat sunnah 1000 rakaat".

Dari paparan di atas, kita semestinya sudah bisa membedakan antara perbedaan pendapat dengan kesalahpahaman dalam suatu masalah. Karna Rasulluluuh mengatakan yang artinya,

"Sungguh seorang hamba jika mengucapkan suatu perkataan (yang melecehkan atau menghina Allah atau syari'atnya) yang dianggapnya tidak bahaya, (padahal perkataantersebut) bisa menjerumuskan-nya ke (dasar) neraka (yang untuk mencapainya dibutuhkan waktu) 70 tahun (dan tidak akan di huni kecuali orang-orang kafir)".(H.R. at-Tirmidzi dan ia menyatakan hadits ini hasan).

Allah juga menegaskan di dalam al-Qur’an yang artinya;

"Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tenteng apa yang mereka katakan itu), tentulah mereka akan menjawab: sesungguhya kami hanya bersenda gurau dan bemain-main saja. "katakanlah (kepada mereka) Apakah terhadap ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kalian melecehkan ?, tidak usah kalian meminta maaf, kalian benar-benar menjadi kafir setelah kalian beriman. (Q.S. at-Taubah: 65-66).

Untuk menjaga keimanan jangan sampai rusak, disebabkan kemurtadan yang kita tidak mengetahui-nya, kita harus memahami arti dari Tauhid, sebagaimana yang telah di jelaskan oleh imam al-Junaid al-Baghdadi;

" Tauhid adalah mengesahkan (Allah) yang tidak mempunyai permulaan dari menyerupai makhluk-Nya. (Diriwayatkan oleh al-Khotib al-Baghdadi).

Pernyataan ini sekaligus mengandung bantahan terhadap orang-orang yang membagi tauhid menjadi tiga macam; Tauhid Uluhiyyah, Tauhid Rububiyyah dan Tauhid al-Asma' Wa as-Shifat.

Pembagian tauhid ini menyalahi Aqidah Ahlussunnah wal Jama'ah. Maksud dan tujuan ini adalah untuk mengkafirkan orang-orang mukmin yang bertawassul dengan para Nabi dan orang-orang shalih, mengkafirkan orang-orang mukmin yang mentakwil ayat yang mengandung sifat-sifat Allah dan mengembalikan penafsiran-nya kepada ayat-ayat muhkamat.

Ini berarti pengkafiran terhadap Ahlussunnah Wal Jama'ah yang merupakan kelompok mayoritas dikalangan umat Muhammad. Suatu ketika Rasulullah ditanya, perbuatan apa yang paling utama?. Rasulullah menjawab yang artinya;

"Iman kepada Allah dan Rasul-Nya. (H.R. al-Bukhari).

Sebab dengan berbekal iman bisa mengantarkan seseorang kedalam surga yang penuh dengan kenikmatan, sebaliknya ketika keimanan (aqidah) rusak (riddah), maka tempat kembalinya adalah neraka Jahanam (yang hanya diperuntukkan orang-orang kafir). Mereka kekal didalam-Nya. Allah berfirman yang artinya;

"Barang siapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan sedang ia orang yang beriman (artinya ini adalah syarat), maka mereka itu akan masuk surga dan mereka tidak di aniaya sama sekali"(Q.S. an-Nisa': 124).

Adapun Riddah terbagi tiga. Sebagaimana yang dikatakan imam an-Nawawi dan ulama lain-Nya, baik dari madzab Syafi'i,Hanafi dan lain-Nya, yaitu :

1. Riddah Qouliyyah (perkataan), seperti mencaci maki Allah, walaupun dalam keadaan marah, sebagaimana firman Allah yang artinya;

"Dan mereka telah benar-benar mengtakan perkataan kufur, mereka telah kafir setelah mereka Islam, "(Q.S. at-Taubah: 74).

2. Riddah Fi'liyyah (perbuatan), seperti melempar mushhaf ( al-Qur'an) ke tempat-tempat kotor, menginjak mushhaf dan lain-nya. Allah berfirman yang artinya;

"Janganlah kalian bersujud kepada matahari dan rembulan", (Q.S. Fushilat).

3. Riddah Qalbiyyah (hati ), seperti meyakini bahwa Allah adalah benda atau roh, meyakini bahwa Allah duduk di atas 'Arsy atau menempati langit atau meyakini bahwa Dzat Allah berada di semua tempat. Allah berfirman yang artinya ;

"Sesungguhnya orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu"
[10]

TAUBAT

Adapun syarat untuk kembali ke agama Islam adalah dengan mengucapkan dua kalimat syahadat disertai niat masuk islam, bukan dengan mengucapkan istighfar "astaghfirullah", sebab orang murtad yang beristighfar atau sholat itu menambah akan kemurtadan-nya, mereka sama saja dengan mengatakan "ya Allah terimalah istighfar atau sholatku sedangkan aku kafir", karena syarat muthlaq suatu ibadah adalah Islam, dan tdk diterima ibadahnya orang kafir. Dan tidak ada perbedaan antara orang yang mengerti (alim) dan orang yang tidak mengerti (bodoh), andaikan bodoh adalah sebuah udzur, niscaya kebodohan itu lebih utama dari orang yang mengerti karena dia tidak terkena siksa, terkecuali orang yang baru masuk Islam atau jauh dari Ulama.

Imam Ghozali berkata, "Tidak sah ibadah (seorang hamba) kecuali setelah mengetahui (Allah) yang wajib di sembah.

Oleh sebab itu kita umat Islam wajib inkar atas golongan-golongan di atas dan mempeingatkan umat manusia dari paham- yang bertentangan dengan mayoritas kaum muslimin, mulai dari zaman shahabat sampai saat ini, mereka adalah mayoritas umat Islam, sedangkan golongan-golongan sesat ini sedikit dibandingkan dengan mayoritas Ahlissunnah Wal Jama’ah.

Semoga kita, guru-guru kita, Orang Tua kita, Saudara kita, Kerabat kita, Orang-orang yang kita cintai dan yang mencintai kita diselamatkan dari bahaya kekufuran, dan saat meninggal nanti dalam keadaan Husnul Khotimah. Amin.

Ditulis Oleh:

Al-Faqir Abu Gresik

FOOTNOTE;

[1] H.R.Tirmidzi
[2] Q.S. asy-Syura: 11
[3] Mereka yang hidup 3oo tahun setelah kewafatan Nabi Muhammad.
[4] Riwayat Abu Manshur al-Baghdady dalam kitab al-Farq bayna al-Firq: 333)
[5] Najm al-Muhtadi wa Rajm al-Mu'tadi: 155
[6] Di nukilkan oleh Imam Suyuthi di dalam kitabnya al-Asybah wa an-Nadzair. 488
[7] Q.S. Ali Imran: 32
[8] Q.S. ali Imran: 19.
[9] Q.S. ali Imran: 85.,
[10] Q.S. al-Hujurat: 15

1 komentar:

  1. Termasuk iman kepada Allah adalah iman kepada apa yang diturunkan Allah Azza wa Jalla dalam Al-Qur-an yang telah diriwayatkan secara mutawatir dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta yang telah disepakati oleh generasi pertama dari ummat ini (para Sahabat Radhiyallahu ‘anhum) bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala berada di atas semua langit,[1] bersemayam di atas ‘Arsy,[2] Mahatinggi di atas segala makhluk-Nya, Allah tetap bersama mereka dimana saja mereka berada, yaitu Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.

    Sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya.

    "Lalu Dia bersemayam di atas ‘Arsy.” [Al-A’raaf: 54]

    Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “...Pandangan yang kami ikuti berkenaan dengan masalah ini adalah pandangan Salafush Shalih seperti Imam Malik, al-Auza’i, ats-Tsauri, al-Laits bin Sa’ad, Imam asy-Syafi’i, Imam Ahmad, Ishaq bin Rahawaih dan Imam-Imam lainnya sejak dahulu hingga sekarang, yaitu mem-biarkannya seperti apa adanya, tanpa takyif (mempersoalkan kaifiyahnya/hakikatnya), tanpa tasybih (penyerupaan) dan tanpa ta’thil (penolakan). Dan setiap makna zhahir yang terlintas pada benak orang yang menganut faham musyabbihah (menyerupakan Allah dengan makhluk), maka makna tersebut sangat jauh dari Allah, karena tidak ada sesuatu pun dari ciptaan Allah yang menyerupai-Nya. Seperti yang difirmankan-Nya.

    "Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya. Dan Allah-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat."[Asy-Syuuraa: 11]

    Tetapi persoalannya adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh para Imam, di antaranya adalah Nu’aim bin Hammad al-Khuza’i -guru Imam al-Bukhari-, ia mengatakan: ‘Barangsiapa yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya, maka ia kafir. Dan barangsiapa yang mengingkari sifat yang telah Allah berikan untuk Diri-Nya sendiri, berarti ia juga telah kafir.’ Tidaklah apa-apa yang telah disifatkan Allah bagi Diri-Nya sendiri dan oleh Rasul-Nya merupakan suatu bentuk penyerupaan. Barangsiapa yang menetapkan bagi Allah Azza wa Jalla setiap apa yang disebutkan pada ayat-ayat Al-Qur-an yang jelas dan hadits-hadits yang shahih, dengan pengertian yang sesuai dengan kebesaran Allah, serta menafikan segala kekurangan dari Diri-Nya, berarti ia telah menempuh jalan hidayah (petunjuk).”[3]

    Firman Allah al-Aziiz:

    "(Yaitu) Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas ‘Arsy.” [Thaahaa: 5]

    Ketika Imam Malik (wafat th. 179 H) rahimahullah ditanya tentang istiwa’ Allah, maka beliau menjawab:

    "Istiwa’-nya Allah ma’lum (sudah diketahui maknanya), dan kaifiyatnya tidak dapat dicapai nalar (tidak diketahui), dan beriman kepadanya wajib, bertanya tentang hal tersebut adalah perkara bid’ah, dan aku tidak melihatmu kecuali da-lam kesesatan.”

    Kemudian Imam Malik rahimahullah menyuruh orang tersebut pergi dari majelisnya. [4]

    Imam Abu Hanifah (hidup pada tahun 80-150 H) rahimahullah berkata:

    "Barangsiapa yang mengingkari bahwa Allah k berada di atas langit, maka ia telah kafir.”[5]

    [Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi'i, PO BOX 7803/JACC 13340A. Cetakan Ketiga Jumadil Awwal 1427H/Juni 2006M]
    _________
    Foote Note
    [1]. Dalil-dalil Allah berada di atas langit: QS. Al-Mulk: 16-17, al-An’aam: 18, 61, an-Nahl: 50, al-Mu’min: 36-37 dan Faathir: 10.
    [2]. Dalil-dalil tentang Istiwa’ Allah di atas ‘Arsy-Nya disebut di tujuh tempat: QS. Al-A’raaf: 54, Yunus: 3, ar-Ra’d: 2, Thaahaa: 5, al-Furqaan: 59, as-Sajdah: 4 dan al-Hadiid: 4.
    [3]. Lihat Tafsiir Ibni Katsiir (II/246-247), cet. Daarus Salaam, th. 1413 H.
    [4]. Lihat Syarhus Sunnah lil Imaam al-Baghawi (I/171), Mukhtasharul ‘Uluw lil Imaam adz-Dzahabi (hal. 141), cet. Al-Maktab al-Islami, tahqiq Syaikh al-Albani.
    [5]. Lihat Mukhtashar al-‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghaffaar (hal. 137, no. 119) tahqiq Syaikh al-Albani dan Syarhul ‘Aqiidah ath-Thahaawiyyah (hal. 386-387) takhrij dan ta’liq Syu’aib al-Arnauth dan ‘Abdullah bin ‘Abdil Muhsin at-Turki.

    BalasHapus