Jumat, 22 April 2011

Mengenal Sebab Kesesatan Aqidah Tasybih

Mengenal Sebab Kesesatan Aqidah Tasybih; Dari Tulisan Imam Ibn al-Jauzi (Waspadai Ajaran Wahhabi, Sebarkan!!)


al-Hâfizh Ibn al-Jauzi menuliskan bahwa sebab kerancuan sebagian orang yang mengaku bermadzhab Hanbali dalam akidah mereka hingga mereka dicap sebagai golongan yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya (ahl al-tasybîh) adalah karena beberapa hal berikut;

Pertama: Mereka selalu menamakan setiap teks yang dinisbatkan kepada Allâh sebagai sifat-sifatnya (Akhbâr al-Shifât). Padahal tidak semua teks yang dinisbatkan kepada Allâh merupakan sifat-sifat-Nya. Bisa jadi penisbatan tersebut hanya penisbatan mudlâf dan mudlâf ilaih. Dan tidak semua nisbat idlafâh semacam ini bermakna sifat. Seperti dalam firman Allâh tentang nabi Adam: “Wa Nafakhtu Fîhi Min Rûhî…”. QS. Shad: 72. Ayat ini maknannya bukan berari Allâh memiliki sifat ruh yang kemudian sebagian ruh tersebut ditiupkan kepada nabi Adam. Tapi makna ayat yang dimaksud adalah idlâfah tasyrîf; artinya ruh tersebut adalah ruh yang dimuliakan oleh Allâh. Dengan demikian jelas salah bila setiap ayat dalam bentuk mudlaf dan mudlaf ilaih dianggap sebagai pengertian sifat.

Kedua: Mereka selalu berkata bahwa teks-teks al-Qur’ân atau hadits tersebut adalah bagian dari teks-teks mutasyâbihât yang tidak diketahui maknanya kecuali oleh Allâh. Kemudian mereka berkata; Kewajiban kita hanya memaknai dan memberlakukan teks-teks tersebut sesuai zhahirnya. Pernyataan mereka ini adalah pernyataan yang sangat aneh. Mereka mengatakan bahwa teks-teks tersebut tidak diketahui oleh siapapun kecuali oleh Allâh, namun pada saat yang sama mereka memaknai teks-teks tersebut dengan makna zhahirnya. Padahal lafazh “yad” dalam bahasa Arab makna zhahirnya adalah “tangan”, yang berupa jari-jemari, daging, tulang darah dan lainnya. Kemudian lafazh “’ain” makna zhahirnya tidak lain adalah mata. Juga lafazh “istawa” makna zhahirnya adalah duduk dan bertempat. Atau lafazh “yanzil” yang makna zhahirnya adalah turun dalam arti berpindah tempat dari atas ke bawah. Apakah makna-makna zhahir semacam ini sesuai begi keagungan Allâh?! Bila tidak, lantas mengapa dikatakan bahwa kita harus memberlakukannya sesuai makna zhahirnya?!

Ketiga: Mereka selalu menetapkan sifat-sifat bagi Allâh dengan sekehendak mereka sendiri. Setiap teks yang ada kaitannya dengan Allâh seringkali diklaim oleh mereka sebagai sifat-sifat-Nya. Padahal sifat-sifat bagi Allâh tidak boleh ditetapkan kecuali dengan adanya dalil-dalil yang pasti atas hal tersebut.

Keempat: Mereka tidak membeda-bedakan dalam menetapkan sifat bagi Allâh antara hadits yang mashur dengan hadits yang tidak shahih. Hadits yang mashur contohnya hadîts al-nuzûl; “Yanzil Rabbunâ Ilâ al-Samâ’ al-Dunyâ…”. Contoh hadits yang tidak shahih seperti hadits yang mengatakan: “Raitu Rabbî Fî Ahsan al-Shûrah…”. Mereka memandang bahwa kedua hadits tersebut merupakan hadits-hadist tentang sifat Allâh. Dan kerananya mereka kemudian menetapkan dengan landasan dua hadits tersebut adanya sifat “turun” dan “bentuk” bagi Allâh.

Kelima: Mereka tidak membeda-bedakan antara hadits marfû’ yang bersambung hingga Rasulullah dan hadits mauqûf yang hanya bersambung sampai kepada para sahabat, bahkan juga membedakannya dengan hadits maqthû’ yang hanya bersambung hingga tabi’in saja. Baik hadits marfû’, hadits mauqûf atau hadits maqthû’ oleh mereka dapat dijadikan dalil dalam menetapkan sifat-sifat bagi Allâh.

Keenam: Yang aneh dari mereka, beberapa teks al-Qur’ân atau hadits yang terkait dengan masalah ini dipahami dengan takwil, namun dalam teks-teks lain mereka memaknainya dengan makna-makna zhahir. Ini menunjukkan bahwa mereka tidak memiliki keteguhan keyakinan. Seperti sebuah hadits yang berbunyi: “Wa Man Atânî Yamsyî, Ataituh Harwalah…”, mereka memaknai hadits ini dengan mentakwilnya. Maksud kandungan hadits ini, menurut mereka sebagai perumpamaan atau pendekatan kenikmatan kenikmatan dan karunia yang dianugerahkan oleh Allâh kepada hamba-hamba-Nya. Lantas di mana konsistensi mereka dalam memegang makna zhahir teks?! Padahal jelas secara zhahir makna hadits tersebut: “Siapa yang mendatangi-Ku dengan berjalan, maka Aku akan mendatanginya dengan berlari keci…”.

Ketujuh: Mereka seringkali memberlakukan makna-makna indrawi dalam memahami teks-teks tersebut. Ini ditandai dengan adalanya lafazh-lafazh yang sering kali mereka tambahkan terhadap teks-teks tersebut. Seperti seringkali mereka berkata: “Yanzil Bi Dzâtih…” (Allah turun dengan Dzat-Nya), “Yanzil Wa Yatahawwal…” (Allah turun dan bergerak), “Istawâ Bi Ma’nâ al-Haqîqah…” (Allah benar-benar bertempat/bersemayam) dan tambahan lafazh lainnya. Lalu untuk mengecoh orang-orang awam mereka berkata: “Lâ Kamâ Na’qil…” (Tidak seperti yang kita pikirkan). Terkadang mereka juga berkata: “Lahû Yad Lâ Ka al-Aidî…” (Allah memilki tangan tapai tidak seperti semua tangan), “Lahû ‘Ain Lâ Kasâ’ir al-A’yun…” (Allah punya mata tapi tidak seperti setiap mata), “Lahû Qadam Lâ Kasâ’ir al-Aqdâm…” (Allah memiliki kaki tapi tidak seperti setiap kaki). Yang tersisa bagi mereka adalah untuk mengatakan: “Huwa Insân Lâ Kasâ’ir al-Nâs…” (Allah adalah manusia tatapi tidak seperti seluruh manusia). Adakah tauhid dalam keyakinan orang-orang semacam ini?? (Penjelasan lebih luas lihat Ibn al-Jauzi, Daf’u Syubah at-Tasybih Bi Akaff at-Tanzih, h. 11-12).

Catatan:

Ibn al-Jauzi adalah al-Imam al-Hafizh Abdurrahman ibn Abi al-Hasan al-Jauzi (w 597 H), Imam Ahlussunnah terkemuka, ahli hadits, ahli tafsir, dan seorang teolog (ahli ushul) terdepan. Adapun ibn Qayyim al-Jauziyyah adalah Muhammad ibn Abi Bakr az-Zar’i (w 751 H) murid dari Ibn Taimiyah yang dalam keyakinannya persis sama dengan Ibn Taimiyah sendiri...

Ingat-ingat neeeh...!!! Keduanya jauh berbeda; yang pertama Imam Ahlussunnah terkemuka, sementara yang kedua adalah murid Ibn Taimiyah; yang dalam keyakinannya persis sama dengan kayakinan tasybih Ibn Taimiyah.

Awas salah!! Ibn Qayyim; murid Ibn Taimiyah ini di antara keyakinannya yang juga persis keyakinan gurunya; 1. Orang yang tawassul dengan Nabi atau orang-orang saleh adalah orang musyrik, 2. Perjalanan untuk ziarah ke makam Rasulullah adalah perjanan maksiat, 3. Berkeyakinan Allah duduk di atas arsy, 4. Berkeyakinan bahwa neraka akan punah dan siksaan terhadap orang-orang kafir di dalamnya akan habis, dan berbagai lainnya. Bukan isapan jempol, ini semua ada datanya, bahkan dia tuliskan dalam karya-karyanya sendiri...

Ingat... Aqidah Rasulullah, para sahabatnya, dan aqidah mayoritas umat Islam, kaum Ahlussunnah wal Jama'ah adalah ALLAH ADA TANPA TEMPAT DAN TANPA ARAH.

Sabtu, 16 April 2011

Konsensus Para Sahabat Dan Imam Empat Madzhab;

"Allah Ada Tanpa Tempat Dan Tanpa Arah".


Berikut ini adalah pernyataan para sahabat Rasulullah dan para ulama dari empat madzhab, serta ulama lainya dari kalangan Ahlussunnah dalam penjelasan kesucian Allah dari menyerupai makhluk-Nya dan penjelasan bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah. Kutipan berikut ini hanya sebagian kecil saja, karena bila kita hendak mengutip seluruh perkataan mereka maka akan membutuhkan kepada ratusan lebar halaman. Namun setidaknya berikut ini sebagai bukti untuk memperkuat akidah kita, sekaligus sebagai bantahan terhadap keyakinan-keyakinan yang menyalahinya.

1. al-Khalifah ar-Rasyid, al-Al-Imam ‘Ali ibn Abi Thalib (w 40 H) berkata:

كَانَ اللهُ وَلاَ مَكَان وَهُوَ الآنَ عَلَى مَا عَليْه كَانَ

“Allah ada tanpa permulaan dan tanpa tempat, dan Dia Allah sekarang -setelah menciptakan tempat- tetap sebagaimana pada sifat-Nya yang azali; ada tanpa tempat” (Diriwayatkan oleh al-Imam Abu Manshur al-Baghdadi dalam al-Farq Bain al-Firaq, h. 333).

Beliau juga berkata:

إنّ اللهَ خَلَقَ العَرْشَ إْظهَارًا لِقُدْرَتهِ وَلَمْ يَتّخِذْهُ مَكَانًا لِذَاتِهِ

“Sesungguhnya Allah menciptakan ‘arsy (makhluk Allah yang paling besar bentuknya) untuk menampakan kekuasaan-Nya, bukan untuk menjadikan tempat bagi Dzat-Nya” (Diriwayatkan oleh al-Imam Abu Manshur al-Baghdadi dalam al-Farq Bain al-Firaq, h. 333).

2. Seorang tabi’in yang agung, al-Al-Imam as-Sajjad Zain al-‘Abidin ‘Ali ibn al-Husain ibn ‘Ali ibn Abi Thalib (w 94 H) berkata:

أنْتَ اللهُ الّذِي لاَ يَحْويْكَ مَكَانٌ

“Engkau wahai Allah yang tidak diliputi oleh tempat” (Diriwayatkan oleh al-Imam Murtadla az-Zabidi dalam Ithaf as-Sadah al-Muttaqin Bi Syarh Ihya’ ‘Ulumiddin, j. 4, h. 380).

Juga berkata:

أنْتَ اللهُ الّذِي لاَ تُحَدُّ فَتَكُوْنَ مَحْدُوْدًا

“Engkau wahai Allah yang maha suci dari segala bentuk dan ukuran” (Diriwayatkan oleh al-Imam Murtadla az-Zabidi dalam Ithaf as-Sadah al-Muttaqin Bi Syarh Ihya’ ‘Ulumiddin, j. 4, h. 380).

3. al-Al-Imam Ja’far as-Shadiq ibn Muhammad al-Baqir ibn ibn Zainal ‘Abidin ‘Ali ibn al-Husain (w 148 H) berkata:

مَنْ زَعَمَ أنّ اللهَ فِي شَىءٍ أوْ مِنْ شَىءٍ أوْ عَلَى شَىءٍ فَقَدْ أشْرَكَ، إذْ لَوْ كَانَ عَلَى شَىءٍ لَكَانَ مَحْمُوْلاً وَلَوْ كَانَ فِي شَىءٍ لَكَانَ مَحْصُوْرًا وَلَوْ كَانَ مِنْ شَىءٍ لَكَانَ مُحْدَثًا (أىْ مَخْلُوْقًا)

“Barang siapa berkeyakinan bahwa Allah berada di dalam sesuatu, atau dari sesuatu, atau di atas sesuatu maka ia adalah seorang yang musyrik. Karena jika Allah berada di atas sesuatu maka berarti Dia diangkat, dan bila berada di dalam sesuatu berarti Dia terbatas, dan bila Dia dari sesuatu maka berarti Dia baharu -makhluk-” (Diriwayatkan oleh al-Imam al-Qusyairi dalam ar-Risalah al-Qusyairiyyah, h. 6).

Aqidah Imam asy-Syafi'i (w 204 H);

Allah Ada Tanpa Tempat. Awas... Anda Jangan Terkecoh Oleh Ajaran Kaum Wahhabi!!!


Imam asy-Syafi’i Muhammad ibn Idris (w 204 H), seorang ulama Salaf terkemuka perintis madzhab Syafi’i, berkata:

إنه تعالى كان ولا مكان فخلق المكان وهو على صفة الأزلية كما كان قبل خلقه المكان ولا يجوز عليه التغير في ذاته ولا التبديل في صفاته (إتحاف السادة المتقين بشرح إحياء علوم الدين, ج 2، ص 24)
“Sesungguhnya Allah ada tanpa permulaan dan tanpa tempat. Kemudian Dia menciptakan tempat, dan Dia tetap dengan sifat-sifat-Nya yang Azali sebelum Dia menciptakan tempat tanpa tempat. Tidak boleh bagi-Nya berubah, baik pada Dzat maupun pada sifat-sifat-Nya” (LIhat az-Zabidi, Ithâf as-Sâdah al-Muttaqîn…, j. 2, h. 24).

Dalam salah satu kitab karnya; al-Fiqh al-Akbar[selain Imam Abu Hanifah; Imam asy-Syafi'i juga menuliskan Risalah Aqidah Ahlussunnah dengan judul al-Fiqh al-Akbar], Imam asy-Syafi’i berkata:

واعلموا أن الله تعالى لا مكان له، والدليل عليه هو أن الله تعالى كان ولا مكان له فخلق المكان وهو على صفته الأزلية كما كان قبل خلقه المكان، إذ لا يجوز عليه التغير في ذاته ولا التبديل في صفاته، ولأن من له مكان فله تحت، ومن له تحت يكون متناهي الذات محدودا والحدود مخلوق، تعالى الله عن ذلك علوا كبيرا، ولهذا المعنى استحال عليه الزوجة والولد لأن ذلك لا يتم إلا بالمباشرة والاتصال والانفصال (الفقه الأكبر، ص13)

“Ketahuilah bahwa Allah tidak bertempat. Dalil atas ini adalah bahwa Dia ada tanpa permulaan dan tanpa tempat. Setelah menciptakan tempat Dia tetap pada sifat-Nya yang Azali sebelum menciptakan tempat, ada tanpa tempat. Tidak boleh pada hak Allah adanya perubahan, baik pada Dzat-Nya maupun pada sifat-sifat-Nya. Karena sesuatu yang memiliki tempat maka ia pasti memiliki arah bawah, dan bila demikian maka mesti ia memiliki bentuk tubuh dan batasan, dan sesuatu yang memiliki batasan mestilah ia merupakan makhluk, Allah Maha Suci dari pada itu semua. Karena itu pula mustahil atas-Nya memiliki istri dan anak, sebab perkara seperti itu tidak terjadi kecuali dengan adanya sentuhan, menempel, dan terpisah, dan Allah mustahil bagi-Nya terbagi-bagi dan terpisah-pisah. Karenanya tidak boleh dibayangkan dari Allah adanya sifat menempel dan berpisah. Oleh sebab itu adanya suami, istri, dan anak pada hak Allah adalah sesuatu yang mustahil” (al-Fiqh al-Akbar, h. 13).

Pada bagian lain dalam kitab yang sama tentang firman Allah QS. Thaha: 5 (ar-Rahman ‘Ala al-‘Arsy Istawa), Imam asy-Syafi’i berkata:

إن هذه الآية من المتشابهات، والذي نختار من الجواب عنها وعن أمثالها لمن لا يريد التبحر في العلم أن يمر بها كما جاءت ولا يبحث عنها ولا يتكلم فيها لأنه لا يأمن من الوقوع في ورطة التشبيه إذا لم يكن راسخا في العلم، ويجب أن يعتقد في صفات الباري تعالى ما ذكرناه، وأنه لا يحويه مكان ولا يجري عليه زمان، منزه عن الحدود والنهايات مستغن عن المكان والجهات، ويتخلص من المهالك والشبهات (الفقه الأكبر، ص 13)

“Ini termasuk ayat mutasyâbihât. Jawaban yang kita pilih tentang hal ini dan ayat-ayat yang semacam dengannya bagi orang yang tidak memiliki kompetensi di dalamnya adalah agar mengimaninya dan tidak --secara mendetail-- membahasnya dan membicarakannya. Sebab bagi orang yang tidak kompeten dalam ilmu ini ia tidak akan aman untuk jatuh dalam kesesatan tasybîh. Kewajiban atas orang ini --dan semua orang Islam-- adalah meyakini bahwa Allah seperti yang telah kami sebutkan di atas, Dia tidak diliputi oleh tempat, tidak berlaku bagi-Nya waktu, Dia Maha Suci dari batasan-batasan (bentuk) dan segala penghabisan, dan Dia tidak membutuhkan kepada segala tempat dan arah, Dia Maha suci dari kepunahan dan segala keserupaan” (al-Fiqh al-Akbar, h. 13).

Secara panjang lebar dalam kitab yang sama, Imam asy-Syafi’i membahas bahwa adanya batasan (bentuk) dan penghabisan adalah sesuatu yang mustahil bagi Allah. Karena pengertian batasan (al-hadd; bentuk) adalah ujung dari sesuatu dan penghabisannya. Dalil bagi kemustahilan hal ini bagi Allah adalah bahwa Allah ada tanpa permulaan dan tanpa bentuk, maka demikian pula Dia tetap ada tanpa penghabisan dan tanpa bentuk. Karena setiap sesuatu yang memiliki bentuk dan penghabisan secara logika dapat dibenarkan bila sesuatu tersebut menerima tambahan dan pengurangan, juga dapat dibenarkan adanya sesuatu yang lain yang serupa dengannya. Kemudian dari pada itu “sesuatu” yang demikian ini, secara logika juga harus membutuhkan kepada yang menjadikannya dalam bentuk dan batasan tersebut, dan ini jelas merupakan tanda-tanda makhluk yang nyata mustahil bagi Allah.

SAYA TEGASKAN: Imam asy-Syafi’i, seorang Imam mujtahid yang madzhabnya tersebar di seluruh pelosok dunia, telah menetapkan dengan jelas bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah, maka bagi siapapun yang bukan seorang mujtahid tidak selayaknya menyalahi dan menentang pendapat Imam mujtahid. Sebaliknya, seorang yang tidak mencapai derajat mujtahid ia wajib mengikuti pendapat Imam mujtahid.
Jangan pernah sedikitpun anda meyakini keyakinan tasybih (menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya), seperti keyakinan kaum Musyabbihah, (sekarang Wahhabiyyah) yang menetapkan bahwa Allah bertempat di atas arsy. Bahkan mereka juga mengatakan Allah bertempat di langit. Ada di dua tempat?! Heh!!! Padahal mereka yakin bahwa arsy dan langit adalah makhluk Allah. Na’udzu Billahi Minhum.....